Pada
tahun 1914 ia pergi haji ke Makkah dan langsung menetap di sana untuk
memperdalam ilmu agama hingga kurang lebih dua tahun setengah (1916).
Pulang dari Mekah, H. Darip mengawali perjuangannya dengan berdakwah di
sebuah mushalla kecil, yang kini menjadi Masjid Al-Makmur yang cukup
megah di Klender dan berjuang bersama para ulama lain, yakni KH Mursyidi
dan KH Hasbullah. Selain dikenal sebagai da’i, ia juga seorang yang
memiliki ilmu main pukulan (ilmu silat) yang lihai. Ia adalah seorang
tokoh yang disegani masyarakat, daerah kekuasaannya mencakup Klender,
Pulogadung, Jatinegara hingga sampai Bekasi.
Pada
saat terjadi revolusi fisik melawan Jepang dan Belanda, H. Darip
membentuk BARA (Barisan Rakyat). Ia mengumpulkan para tokoh, pemuda dan
jagoan yang tersebar di Klender dan sekitarnya. Di antara mereka yang
ikut bergabung adalah H. Hasbullah (Kakak dari KH. Hasbiyallah) dan KH.
Mursyidi. Mereka terlibat dalam pertempuran di beberapa front di kota
Jakarta. H. Darip sendiri saat itu dijuluki "Panglima Perang dari Klender".
Sebuah brosur dari Angkatan 45 DKI tanggal 17 Agustus 1985—empat tahun
setelah Haji Darip meninggal dunia—menyebutkan, H. Darip pada zaman
penjajahan Belanda (sebelum perang dunia kedua), berjuang bersama
Soekarno bergerak di bawah tanah, terutama di Cilincing, Tanjung Priok,
Jakarta Utara.
Ketika
pendudukan Jepang, menyaksikan kekejaman pasukan Dai Nippon ini, H.
Darip memimpin masyarakat di Klender dan menghimpun para jawara,
narapidana dan napi Rutan Cipinang untuk melakukan perlawanan terhadap
Jepang. Sewaktu dia masih memimpin pergerakan dari Klender, banyak para
pemimpin yang datang bahkan menginap di kediamannya, di antaranya Soekarni,
tokoh Murba, Kamaludin, Syamsuddin orang Padang, dan Pandu Kartawiguna.
Mereka menginap di rumah H. Darip dan menyatakan kepadanya bahwa
sebentar lagi Indonesia akan merdeka dan mereka membicarakan pengusiran
orang Jepang.
Anak
buah H. Darip yang tergabung dalam BARA dimandikan oleh H. Darip
kemudian diisi badannya dengan ilmu kebal lalu dicoba dengan dibacok
badannya dengan golok. Setelah dirasa memiliki ilmu kebal maka pasukan
BARA diperbolehkan untuk berjuang mengusir Jepang. H. Darip
memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu dan mengusir tentara Jepang di
Pangkalan Jati, Pondok Gede, Cipinang Cempedak, sepanjang Kali Cipinang
dan lain-lain. Anak buah H. Darip bahkan sampai membunuh tentara
Jepang. Hal tersebut dilakukan oleh anak buah H. Darip karena jika
tentara Jepang tidak dibunuh maka anak buah H. Darip yang terbunuh
karena tentara Jepang mempunyai senjata api sedang anak buah H. Darip
hanya mempunyai kekuatan fisik dan golok saja. Beberapa sumur di Klender
dan sekitarnya tidak ada yang mau minum airnya karena penuh dengan
bangkai tentara Jepang, begitupula dengan sungai Sunter yang dipenuhi
dengan mayat tentara Jepang.
Setelah
berhasil mengerahkan rakyat yang dihimpun dan dipimpinnya untuk
menghabiskan tentara Jepang yang bertugas di pinggiran, maka H. Darip
menyadari bahwa kekuatan rakyat tidak akan berarti jika tidak dilengkapi
dengan peralatan senjata, logistik dan persediaan makanan. Kira-kira
seminggu sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, H. Darip
mendatangi Camat Klender dan meminta segala pakaian rakyat yang akan
dibagikan jangan dikeluarkan sebelum saatnya tiba dan menunggu komando
darinya.
H.
Darip juga mendatangi kantor polisi yang masih di bawah kekuasaan
Jepang. Ia meminta supaya senjata-senjata yang ada di kantor polisi
jangan diserahkan kepada Jepang, melainkan harus diserahkan kepada
rakyat nanti. Lalu H. Darip menyuruh komandan polisi membuat pernyataan
dan membubuhkan tanda tangannya untuk menyerahkan senjata kepada rakyat.
Kemudian H. Darip pergi ke Seksi Tujuh. Ia bertemu dengan Darmatin dan
Juhra anak Banten dan Sukahar dan meminta kepada mereka agar
persenjataan yang ada di sana diserahkan kepada rakyat. Kemudian H.
Darip menuju penjara Cipinang. Direkturnya diberi tahu hal yang sama
dengan apa yang dikatakan pada Camat, Kepala polisi maupun Komandan Seksi VII. Pada saatnya pula nanti H. Darip meminta agar para tahanan dilepaskan. Ia juga datang ke Seksi V dan melakukan hal yang sama.
Hari
Proklamasi makin dekat dan keadaan makin panas saja. Tetapi dia telah
mempersiapkan anak buahnya. Dia juga mendatangi gudang-gudang beras di
Klender untuk memblokir beras yang ada jangan sampai keluar dari
Klender. Maka jadilah Klender wilayah pertahanan yang merupakan gudang
makanan dan persenjataan ala kadarnya.
H.
Darip mempersiapkan hal tersebut di atas setelah mendapat informasi
dari Soekarni bahwa Indonesia sebentar lagi akan merdeka. Informasi itu
diperoleh ketika terjadi serangan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat atas perintah Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman. Setelah pengeboman tersebut maka pada 15 Agustus, Jepang mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Berita ini diketahui oleh kalangan pemuda bangsa Indonesia melalui berita siaran radio BBC (British Broadcasting Corporation)
London. Pada saat yang sama Soekarno dan Hatta baru kembali ke tanah
air memenuhi panggilan Panglima Mandala Asia Tenggara, Marsekal Terauchi
di Saigon, Vietnam.
Saat
kembali ke tanah air, Soekarno ditemui para pemuda untuk membicarakan
kemerdekaan Indonesia. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00
WIB, Soekarno dan Hatta "diculik" dan dibawa ke Rengasdengklok, Karawang oleh para pemuda di antaranya Soekarni, Chaerul Saleh
dan lain-lain. Dalam peristiwa Rengasdengklok itu, H. Darip menjadi
saksi hidup ketika para pemuda mendesak Soekarno Hatta agar mempercepat
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Kemudian
Soekarno Hatta ditempatkan di suatu rumah yang tidak layak di pinggir
kali. Lalu H. Darip meminta kepada Soekarni dan kawan-kawannya agar
Soekarno Hatta di tempatkan di rumah yang layak karena Soekarno Hatta
adalah calon pemimpin yang harus dihormati. Atas permintaan H. Darip
maka Soekarni dan kawan-kawan menempatkan Soekarno Hatta di rumah
perkampungan milik warga Tionghoa, Djiaw Kie Siong.
Pada waktu itu Soekarno dan Hatta menginginkan agar proklamasi dilakukan melalui PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sementara
golongan pemuda menginginkan agar proklamasi dilakukan secepatnya tanpa
melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang. Selain itu, hal tersebut dilakukan agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para golongan pemuda khawatir apabila
kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan bangsa
Indonesia, menjadi seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang.
Setelah
melalui perundingan yang panjang akhirnya disepakati bahwa proklamasi
kemerdekaan dilaksanakan pada 17 Agustus di Jakarta kemudian bendera Merah Putih dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Rabu tanggal 16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pada
akhirnya, tepatnya hari Jumat, 17 Agustus 1945 atau bertepatan dengan
09 Ramadlan 1364 H, Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamirkan
kemerdekaan Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan tersebut disambut
suka cita oleh seluruh rakyat Indonesia, tak ketinggalan rakyat yang
berada di Klender dan sekitarnya. Setelah proklamasi kemerdekaan,
Soekarno berkunjung ke Klender dan memimpin rapat akbar di sana serta
meminta rakyat Klender ikut membantu mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.
Selanjutnya
H. Darip memerintahkan rumah-rumah di Klender menaikkan bendera merah
putih. Pabrik-pabrik di Klender, Cipinang, Jatinegara dan lain-lain
diperintahkan mengganti bendera Jepang dengan merah putih. H. Darip juga
meminta agar pabrik tidak mengeluarkan beras kecuali untuk makan laskar
rakyat. Setelah berhasil menghimpun senjata, makanan dan pakaian, H.
Darip memerintahkan anak buahnya untuk menjaga ketat wilayah Klender
agar tidak dimasuki tentara Jepang atau mata-mata Jepang.
Setelah
Jepang menyerah dan kembali ke negerinya, Belanda dan tentara sekutu
berusaha kembali menjajah Bangsa Indonesia. H. Darip bersama pasukan
BARA bersiap-siap untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagaimana
yang diamanatkan oleh Soekarno saat rapat akbar di Klender.
Pada
suatu penyerangan, Klender berhasil diduduki Belanda dan sekutu
sehingga H. Darip dan pasukan BARA hijrah ke beberapa tempat seperti
Tambun, Cikarang, Lemah Abang, Bekasi, Cikampek, Karawang hingga ke
Purwakarta dan membentuk BPRI (Barisan Pejuang Rakyat Indonesia) Jakarta
Raya. Dari tempat persembunyiannya—dengan pangkat Letnan Kolonel
Tituler—ia bermarkas di Purwakarta dan menyusun strategi melawan NICA
Belanda.
Suatu
ketika benteng pertahanan di Purwakarta diserang oleh Belanda melalui
hujan bom dan peluru dari udara dan darat sehingga H. Darip dan
pasukannya harus mengungsi ke hutan. Perjalanan ke hutan sangat
memprihatinkan, terlebih di antara 4 (empat) isteri H. Darip ada yang
sedang hamil dan ada yang mempunyai bayi yang masih kecil. Mereka harus
turun naik bukit, menyebrang sungai dan menahan lapar dan dahaga. Jika
rasa lapar dan dahaga tidak tertahankan mereka singgah ke rumah penduduk
setempat untuk meminta makanan dan minuman. Di kemudian hari untuk
keselamatan anak dan isteri-isterinya, H. Darip mengirimkan mereka ke
Klender dan berpesan agar tidak memberitahukan kepada siapapun tentang
posisi H. Darip dan pasukannya.
Pada
saat memasuki bulan puasa, H. Darip dan pasukannya tetap berpuasa dan
berjuang melawan Belanda. Mereka dari Parakan Lima menuju hutan Cempaka,
hutan Bendul, Kembang Kuning dan Cibatu. Di hutan Cempaka H. Darip
menghimpun kekuatan dan mengatur strategi untuk menyerang musuh.
Pertahanan Belanda di Purwakarta kerapkali dibuat panik oleh serangan
mendadak yang tidak terduga di malam hari atau menjelang subuh hingga
suatu ketika Jayusman, anak buah H. Darip yang berasal dari Banten
tertangkap. Ia ditembak tetapi tidak mempan dan akhirnya ia tewas
setelah dipulir kepalanya.
Belanda
berusaha keras untuk menangkap H. Darip akan tetapi usaha itu sia-sia.
Bahkan Belanda menjanjikan hadiah besar bagi orang yang bisa menangkap
H. Darip. Pada akhirnya Belanda mengirim mata-mata untuk bergabung dan
menjadi anak buah H. Darip. Tersebutlah Jami dan Sarosa yang menjebak
dan membujuk H. Darip agar pergi ke Jogjakarta untuk kembali dekat
dengan Soekarno. Sejak Januari 1946 Ibukota memang pindah dari Jakarta
ke Jogjakarta.
Sarosa
berangkat mendahului. Kemudian menyusul H. Darip, Jami dan Entong, anak
perawat kuda yang berumur 13 tahun. Ketika malam hari melewati hutan
Jati, Sadang Purwakarta H. Darip disergap Belanda. H. Darip diikat erat
dengan kabel listrik dan dibawa memakai mobil Jeep. Jami tidak terlihat
ditangkap. Akhirnya ia menyadari bahwa ia dijebak dan dikhianati oleh
Jami. Dari Sadang H. Darip dibawa ke Jakarta kemudian dimasukkan ke sel
Polisi I Kebayoran selama tiga hari lalu dipindah ke Ancol. Dalam
kondisi tetap diikat dengan kabel listrik, H. Darip disiksa dengan
gagang senapan dan dipukul bertubi-tubi sampai akhirnya H. Darip
dijebloskan ke tahanan Glodok, Jakarta Kota (kini merupakan bagian dari
pertokoan Harco) pada tahun 1948.
Berita
tertangkapnya H. Darip sampai ke anak buahnya. Mereka sangat marah
ternyata pimpinannya tertangkap karena dijebak dan dikhianati oleh Jami.
Kemudian anak buahnya mencari-cari Jami hingga akhirnya Jami ditangkap
dan tewas dibunuh oleh anak buah H. Darip yang setia.
Pada
akhir tahun 1949 H. Darip menulis surat kepada Soekarno agar ia
dibebaskan dari penjara. Konon surat tersebut diterima oleh Fatmawati,
istri Soekarno di Istana Negara. Tetapi Soekarno tidak bisa membebaskan
H. Darip. Setelah penyerahan kedaulatan pada akhir Desember 1949, H.
Darip akhirnya dibebaskan dari penjara. Para anak buahnya yang hampir
100 orang menyambut H. Darip di luar penjara dan membawa ke rumah
Ghozali di Kebon Jahe kemudian ke Klender. Rumahnya di Klender sudah
habis dibakar oleh Belanda saat ia di penjara. Lalu bersama-sama anak
buahnya dan rakyat Klender secara gotong royong membuat rumah sederhana
untuk H. Darip.
Pada
Mei atau Juni 1950 H. Darip dipanggil Soekarno ke Istana Cipanas. Ia
dijemput oleh Letnan Ishaq Latief. Dalam pertemuan tersebut dihadiri
oleh Menteri Pertahanan Hamengkubuwono. Soekarno menyambut dan memeluk
H. Darip sambil menangis. Soekarno lalu menjelaskan surat H. Darip yang
dikirimkan untuknya. Soekarno merasa yakin bahwa H. Darip akan bebas dan
tidak akan mati di penjara.
Pada
tahun 1950 ketika keamanan Jakarta belum sepenuhnya stabil, foto H.
Darip terjual habis. Masyarakat Jakarta, khususnya Klender dan terutama
keturunan Cina akan merasa aman jika rumahnya terpampang foto H. Darip.
Para pencoleng dan gerombolan penjahat tidak akan menggangu rumah atau
toko yang terpampang foto H. Darip.
H.
Darip adalah rakyat biasa yang kemudian memimpin rakyat untuk melawan
dan mengusir penjajah. Ia memiliki wibawa sehingga bisa menggerakan api
semangat perlawanan terhadap penjajah. Ia juga berjuang tanpa pamrih
sehingga ia tidak memperdulikan gelar veteran dan pahlawan. Di akhir
masa hidupnya, ia menghabiskan waktu untuk berdakwah di Klender dan
sekitarnya untuk mengamalkan ilmu yang ia dapat saat belajar di Makkah.
H.
Darip meninggal di Jakarta pada 13 Juni 1981 dan dimakamkan di
Pemakaman Wakaf Ar-Rahman Jalan Tanah Koja II, Jatinegara Kaum,
Pulogadung Jakarta Timur bersebelahan dengan makam salah satu istrinya,
Hj. Hamidah.
SUMBER :
Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).
Penulis: Ahmad Fadli HS
Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011
ISBN:
978-602-98466-1-4



